Kapan Ibu Mertua Menjadi Mahram Bagi Menantu, Semenjak Komitmen Atau Sesudah Jima?


Para ulama berbeda pendapat wacana semenjak kapan terhitung ibu mertua menjadi mahram bagi menantunya. Sebagian menyampaikan semenjak terjadi pernikahan maka otomatis ibu mertua menjadi mahram selamanya (mahram muabbad). Sebagian lainnya menghitung bukan semenjak kesepakatan melainkan semenjak terjadinya jima'. 

Berikut ialah rinciannya bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi disertai dengan rujukannya pada masing-masing kitab fiqih mu'tamad dari tiap mazhab.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut:

حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ، وَحُجَّتُنَا فِي ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى {وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ} [النساء: 22]، وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّ النِّكَاحَ لِلْوَطْءِ حَقِيقَةً

Hujjah atau dalil dari mahramnya keluarga lantaran pernikahan termaktub dalam firman Tuhan ta’ala dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya : “Dan janganlah kalian menikahi siapa-siapa yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian.[1]

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

ثُمَّ حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ تَثْبُتُ بِالْعَقْدِ الصَّحِيحِ

Ditetapkannya mahram lantaran karena penikahan menurut kesepakatan yang shohih .[2]

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :


الْمُصَاهَرَةُ، يَحْرُمُ بِهَا فُرُوعُ نِسَائِهِ الْمَدْخُولِ بِهِنَّ وَإِنْ نَزَلْنَ، وَأُمَّهَاتُ الزَّوْجَاتِ وَجَدَّاتُهُنَّ بِعَقْدٍ صَحِيحٍ وَإِنْ عَلَوْنَ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِالزَّوْجَاتِ


Dengan terjadinya kesepakatan pernikahan, mengakibatkan bawah umur dan ibu-ibu dari perempuan yang dinikahi mahram walaupun istrinya belum digauli .[3]

Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :


(قوله: فروع نسائه المدخول بهن) أي وإن نزلن. (قوله: وأصولهن) أي وإن علون وإن لم يدخل بالزوجات.


Ia berkata : anak-anak dari perempuan yang telah digauli telah menjadi mahram dan ibu-ibu dari perempuan yang belum digauli .[4]

Dari klarifikasi beberapa ulama diatas, sanggup kita ketahui bahwa dalam madzhab ini, ada beberapa perbedaan pendapat. Ada yang mengharamkan ibu mertua atau ibu dari perempuan yang telah dinikahi harus dengan watha’ atau jima’. Ada juga yang menyampaikan bahwa kemahraman seorang pria dengan ibu mertuanya itu cukup hanya dengan terjadinya pernikahan yang shahih saja antara dirinya dan istrinya.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :

لَمْ يَكُنِ الْعَقْدُ عَلَيْهَا كَافِيا فِي بغضتها لِابْنَتِهَا إِذَا عُقِدَ عَلَيْهَا لِضَعْفِ مَيْلِهَا لِلزَّوْجِ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ مُخَالَطَتِهِ فَاشْتُرِطَ فِي التَّحْرِيمِ إِضَافَةُ الدُّخُولِ

Akad saja tidaklah cukup untuk mengakibatkan ibu mertua sebagai mahram, dikarenakan lemahnya kecondongan anak perempuan kepada seorang suami dengan hanya kesepakatan dan tanpa bercampur, maka disyaratkan jima’ biar ia menjadi mahram dengan ibu mertua.[5]

Dalam madzhab ini, para ulama nya mensyaratkan terjadinya watha’ atau jima’ antara ia dan istrinya untuk mengakibatkan ibu dari perempuan yang dinikahi pria tersebut sebagai mahram. Dan tidak cukup hanya dengan kesepakatan saja.

3. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :


فأما أم الزوجة فإن الرجل إذا عقد النكاح على إمرأة حرمت عليه كل أم لها حقيقة أو مجازا من جهة النسب أو من جهة الرضاع سواء دخل بها أو لم يدخل


Adapun ibu mertua, bahwa apabila seorang pria melaksanakan kesepakatan pernikahan dengan seorang perempuan, maka menjadi mahramlah seluruh ibu-ibu dari perempuan tersebut (kandung maupun bukan) dari sisi keturunan ataupun dari sisi persusuan (radha’ah), baik telah melaksanakan jima’ maupun belum.[6]

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhfatu Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

وَ) يُحَرَّمُ عَلَيْك (أُمَّهَاتُ زَوْجَتِك مِنْهُمَا) أَيْ النَّسَبِ أَوْ الرَّضَاعِ وَلَوْ لِطِفْلَةٍ طَلَّقْتهَا وَإِنْ عَلَوْنَ وَإِنْ لَمْ تَدْخُلْ بِهَا لِإِطْلَاقِ

Dan diharamkan bagi kalian para pria untuk menikahi ibu mertua dan urutan nasab ke atas baik lantaran hubungan nasab maupun persusuan meskipun kalian menceraikan seorang anak kecil dan belum menyentuhnya (jima’) menurut keumuman ayat surat an nisa : 23[7]

Berbeda dengan dua madzhab sebelumnya, semua ulama madzhab ini mengakibatkan hanya dengan kesepakatan yang shahih seorang ibu dari perempuan yang telah dinikahi mahram baginya. Sehingga, sudah digauli atau belum, sehabis kesepakatan yang shahih maka secara otomatis si ibu dari istrinya eksklusif menjadi mahramnya.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughnimenuliskan sebagai berikut :


أَنَّهُ يَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ، فَإِذَا زَنَى بِامْرَأَةٍ حَرُمَتْ عَلَى أَبِيهِ وَابْنِهِ، وَحَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَابْنَتُهَا، كَمَا لَوْ وَطِئَهَا بِشُبْهَةٍ أَوْ حَلَالًا وَلَوْ وَطِئَ أُمَّ امْرَأَتِهِ أَوْ بِنْتَهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ


Bahwa diharamkannya keluarga lantaran kesepakatan pernikahan apabila seorang perempuan berzina maka diharamkan baginya bapak dan anaknya (laki-laki yang dizinahi) dan diharamkan bagi pria ibu dan anak perempuannya (wanita yang dizinahi) waupun istrinya telah digauli secara halalpun.[8]
Wallahu’alam.

[1] As-Sarakhsi, Al-Mabstuh, jilid 4 hal. 205
[2] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 2 hal. 260
[3] Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 3 hal. 208
[4] Az-Zaila’i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2 hal. 101
[5] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah jilid 4 hal 261
[6] An-Nawawi Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab jilid 16 hal 217
[7] Ibnu Hajar Al-Haitami Tuhfatu Al-Muhtaj jilid 7 hal 302
[8]Ibnu Qudamah Al-Mughni jilid 7 hal 117

Sumber: fiqihmuslimah.com